Beberapa tahun terakhir ada kesadaran baru yang kita temukan perihal penyesalan dan penebusan. Kita telah sampai pada kesimpulan bahwa penghukuman yang sesungguhnya berasal dari diri sendiri. Bahkan kamu tidak menangis, kan? Karena kamu sadar bahwa kamu pantas mendapatkannya. Kemudian kita kembali disadarkan; ada sudut pandang lain yang tidak sampai diterima mata. Bahwa luka yang ditimbulkan itu sakitnya hanya bisa diukur oleh mereka yang mengalaminya saja. Jadi penebusan, walaupun sudah berlarut-larut, kita tidak akan pernah sampai pada keyakinan bahwa itu cukup.
Sebaliknya, itu tidak akan pernah cukup.
Bertahun-tahun kemudian kamu berjalan di kota dan menggeser layar ponselmu. Kamu membaca berita terbaru tersangka korupsi yang keluar masuk penjara berkali-kali. Lalu karena kamu sangat kesulitan melulu berkutat dengan rasa bersalahmu, akhirnya kamu mulai membandingkan siapa yang lebih buruk di antara kalian.
Penyesalan, penebusan, rasa bersalah ... mereka semua tidak ada bentuk konkritnya. Kita hanya tinggal pura-pura tidak tahu saja kalau ingin bebas dari belenggu. Namun membohongi diri sendiri hanya untuk merasa lebih baik justru membuatmu merasa lebih buruk. Hidup dengan tidak tahu malu, bagaimana rasanya?
Hanya karena dia lebih buruk, bukan berarti kita tiba-tiba tidak pernah melakukan hal jahat. Itu tetap ada di sana.
Kemudian, ada kesadaran lain yang kita temukan. Dunia tidak peduli apa masalah kita atau apakah kita menyesal atau tidak. Justru ada kalanya penyesalan itu menjadi sesuatu yang egois karena ada yang harus diselamatkan selain rasa tercekik di tenggorokan yang selalu kita rasakan setiap harinya. Ada yang lebih penting dan lebih menyiksa selain diri kita yang selalu kita tenggelamkan diam-diam.
Lalu semua itu berakhir menumpuk menjadi satu. Kamu duduk di bawah pohon dengan tangan penuh noda tinta yang kental dan menjijikan, menunggu ada yang menghampirimu, menyodorkan kelegaan, memberikan harapan bahwa kamu ... sudah diizinkan untuk bernafas dengan leluasa. Namun kamu tidak ingin noda itu menghilang dari sana. Itu hanya bisa mengering agar tidak mengotori yang disentuhnya, dan selamanya akan menetap sebagai pengingat.
Sebaliknya, itu tidak akan pernah cukup.
Bertahun-tahun kemudian kamu berjalan di kota dan menggeser layar ponselmu. Kamu membaca berita terbaru tersangka korupsi yang keluar masuk penjara berkali-kali. Lalu karena kamu sangat kesulitan melulu berkutat dengan rasa bersalahmu, akhirnya kamu mulai membandingkan siapa yang lebih buruk di antara kalian.
Penyesalan, penebusan, rasa bersalah ... mereka semua tidak ada bentuk konkritnya. Kita hanya tinggal pura-pura tidak tahu saja kalau ingin bebas dari belenggu. Namun membohongi diri sendiri hanya untuk merasa lebih baik justru membuatmu merasa lebih buruk. Hidup dengan tidak tahu malu, bagaimana rasanya?
Hanya karena dia lebih buruk, bukan berarti kita tiba-tiba tidak pernah melakukan hal jahat. Itu tetap ada di sana.
Kemudian, ada kesadaran lain yang kita temukan. Dunia tidak peduli apa masalah kita atau apakah kita menyesal atau tidak. Justru ada kalanya penyesalan itu menjadi sesuatu yang egois karena ada yang harus diselamatkan selain rasa tercekik di tenggorokan yang selalu kita rasakan setiap harinya. Ada yang lebih penting dan lebih menyiksa selain diri kita yang selalu kita tenggelamkan diam-diam.
Lalu semua itu berakhir menumpuk menjadi satu. Kamu duduk di bawah pohon dengan tangan penuh noda tinta yang kental dan menjijikan, menunggu ada yang menghampirimu, menyodorkan kelegaan, memberikan harapan bahwa kamu ... sudah diizinkan untuk bernafas dengan leluasa. Namun kamu tidak ingin noda itu menghilang dari sana. Itu hanya bisa mengering agar tidak mengotori yang disentuhnya, dan selamanya akan menetap sebagai pengingat.
Comments
Post a Comment