Kau masih tertidur di sana. Di kasurmu yang sudah lembab, jejak tenggelam mencetak massa tubuhmu yang sudah kaku, yang kainnya tak lagi kusut oleh lekuk. Ia memanas, kemudian mendingin oleh waktu-waktu yang kau gunakan untuk diam, menghirup hiruk pikuknya kehidupan, lalu kau embuskan selayaknya debu penuhi rongga dadamu. Sesak. Kau tekan tumit ke atas lantai yang terasa lengket di kulit, terasa mengganggu. Langkahmu mengecap dinginnya permukaan rumah, suaranya menelisik sudut-sudut gelap, mengirim getaran pada sarang-sarang binatang yang mendiami rumahmu selayaknya teman kamar. Mereka terasa lebih familiar denganmu daripada kawan-kawan. Kau coba jelaskan pada cermin bahwa ini bagian dari kehidupan, untukmu terperosok lalu nantinya bangkit lagi, seperti kerja gelombang. Tapi kau terjebak di bawah sini begitu lama, mewanti-wanti kapan momentummu datang membawamu naik ke puncak. Kau terdiam begitu lama, mendangak ke atas, lalu kesepian mulai merayapi pori-pori kulitmu. Rasanya seperti dimakan rayap, dikikis sedikit-sedikit hingga habis lalu dibiarkan terbuka. Perihnya menyengat tiap kali kau lirik. Lantas kau peluk lagi dirimu yang sendiri itu agar tetap utuh hingga matahari menutup paruh waktunya. Lampu di kamarmu selalu terasa redup, tak peduli berapa kali diganti. Malam terasa begitu luas dan melegakan, jarakmu dan bulan hanya kegelapan. Seperti ketika kau menutup matamu. Di kegelapan, semuanya terasa dekat. Sedekat ujung pisau dengan retina. Di kegelapan, semuanya terasa memungkinkan. Seperti serangan yang dapat muncul tiba-tiba, dari kolong kasur, dari samping tempat tidur, dari yang membuka kunci pintu. Lantas kau jaga kuat-kuat kesadaranmu. Bahkan ketika kau tidak mempercayai dirimu sendiri. Setidaknya bulan mengawasimu, seperti tahu kau sudah putus asa membutuhkan redup pencahayaannya di tengah malam gulita. Begitulah gelapmu berlalu.
***
Kita dibangun dari ribuan perang-perang di negeri kuno yang sudah mati ini. Jasad-jasadnya tertinggal, meresap, bergabung dengan daging. Pedang dan tombaknya menancap, merobek nadi, menoreh rasa sakit dan ambisi. Darahnya merembes, memadamkan gairah, seperti sihir kegelapan yang sia-sia mensucikan.
Kita dibunuh, tapi tidak pernah mati. Kita bangkit lagi, dan hidup berkali-kali.
30/03
Comments
Post a Comment